Rasa marah merupakan gejolak di dalam jiwa yang seringkali dirasakan oleh seseorang saat melihat atau tertimpa sesuatu yang tidak disenanginya. Rasa marah sendiri merupakan tabiat manusia, di mana hampir tidak ada satupun yang bisa selamat dari rasa marah.
Lantas bagaimanakah sebenarnya bimbingan islam terkait rasa marah?
Untuk menjawabnya, di bawah ini akan saya sebutkan pembahasan khusus terkait rasa marah serta menyebutkan beberapa dalil islam tentang marah.
Mudah-mudahan pembahasan kali ini bisa menambahkan ilmu yang bermanfaat bagi kaum muslimin yang membacanya.
Baca juga tentang: Tenang, Sabar, Takut, Sedekah, Bersyukur, Sederhana, Kutipan Ali Bin Abi Thalib.
Apa Itu Rasa Marah?
Agar pembahasan kita tentang rasa marah dan beberapa kutipan islam tentang marah bisa dipahami dengan baik, tentu kita terlebih dahulu perlu mengetahui apakah yang dimaksud dengan MARAH itu sendiri?
Bahasa arab MARAH adalah al-ghodhob, yang secara etimologi berarti lawan dari ridha.
Adapun secara terminologi atau istilah, MARAH bermakna mendidihnya darah yang terdapat di dalam hati karena ingin mencegah hal-hal yang menyakiti ketika dikhawatirkan terjadi, atau ingin menghukum/membalas terhadap orang yang gangguan muncul darinya setelah terjadinya gangguan tersebut. (Lihat Kitab Jami’ Al-Ulum Wa Al-Hikam Karya Ibnu Rajab Al-Hanbali Rahimahullah 1/396).
Pentingnya Mengendalikan Rasa Marah
Rasa marah merupakan bara api yang dikobarkan setan dalam jiwa manusia. Jika seseorang tidak mampu mengendalikan marahnya, akan mengakibatkan sesuatu yang jelek.
Oleh karena itu, Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid (Hal.201) menyebutkan bahwa pokok-pokok kemaksiatan ada tiga, di mana beliau menyebutkan di antaranya adalah mentaati kekuatan rasa marah. Adapun puncak dari menuruti kekuatan rasa marah adalah pembunuhan.
Fakta yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan dengan jelas bagaimana bahayanya saat seseorang tidak mampu mengendalikan rasa marah yang menimpanya.
Tidaklah terjadi kesalahpahaman yang berakhir kepada perkelahian bahkan pembunuhan, tidak lain disebabkan karena ketidakmampuan dalam mengendalikan rasa marah.
Oleh karena itu, salah satu nasehat islam tentang marah perlu senantiasa kita ingat bahwa orang kuat sejati bukanlah orang yang hebat dalam bertarung dan berkelahi, tetapi orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.
Hal ini telah ditegaskan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam sebuah hadits :
“Bukanlah orang kuat itu adalah orang yang (selalu mengalahkan lawannya) dalam bergulat, akan tetapi orang kuat itu adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).
Terkadang seseorang tidak melampiaskan rasa marahnya kepada orang lain (yang menyebabkan dia marah) dikarenakan kelemahan yang ada pada dirinya atau dikarenakan kemampuan dan kekuasaan orang tersebut lebih besar dari dirinya.
Namun bagaimana jika sebaliknya, seseorang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk melampiaskan rasa marahnya, tapi dia lebih memilih untuk bersabar dan menahannya? Tentu ini merupakan kemuliaan dan keutamaan.
Salah satu sifat penghuni surga yang disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah orang-orang yang mampu menahan rasa marahnya dan memaafkan orang yang melakukan kesalahan terhadapnya. Hal ini ditegaskan oleh Allah Azza Wajalla dalam firman-Nya :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Surah Ali-Imran : 133-134).
Asy-Syaikh Al-Utsaimin Rahimahullah berkata tentang ayat di atas :
“[Orang-orang yang menahan amarahnya] (pada firman di atas) yaitu mereka adalah orang-orang yang menahan rasa marah mereka tatkala mereka marah, sehingga mereka tidak melakukan pelampauan batas dan tidak dengki kepada orang lain dengan sebab rasa marah tersebut. [Dan mema’afkan (kesalahan) orang] (pada firman di atas) yaitu mereka memaafkan orang yang menzholimi dan melakukan pelampauan batas kepada mereka. Maka mereka tidak memberikan hukuman semata-mata karena diri-diri mereka sendiri bersamaan dengan kemampuan mereka untuk mewujudkan hal (hukuman) tersebut.”
“Pada firman Allah Ta’ala [Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan] terdapat isyarat bahwa pemberian maaf tidaklah terpuji kecuali jika hal tersebut merupakan bentuk kebaikan, yaitu pemberian maaf pada tempat yang benar dan memberikan perbaikan. Adapun jika pemberian maaf yang justru semakin menambah pelampuan batasnya orang-orang yang zholim, maka hal tersebut tidaklah terpuji dan tidak mendapatkan pahala.” (Lihat Kitab Majalis Syahr Ar-Ramadhan Oleh Asy-Syaikh Al-Utsaimin Rahimahullah hal.176-177).
Wasiat Nabi Untuk Tidak Marah
Untuk menyempurnakan kutipan islam tentang marah pada artikel kali ini, simaklah wasiat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada seseorang yang meminta wasiat kepada beliau. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, di mana beliau berkata :
“Seorang lelaki datang dan berkata ‘Wahai Rasulullah, berwasiatlah kepadaku!’ Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berkata ‘Jangan marah’. Kemudian lelaki itu kembali mengulangi pertanyaannya, maka Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kembali berkata ‘Jangan marah.’” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’dy Rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya sabda Nabi ‘Jangan marah’ mengandung dua perkara yang agung :
- Pertama : Perintah untuk melakukan sebab (sebab-sebab akhlak yang baik) dan membiasakan diri dengan akhlak yang baik, bersikap tenang, sabar, dan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi apa yang dapat menimpa seseorang dari orang lain berupa gangguan-gangguan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Jika seorang hamba telah diberikan taufik terhadap semua hal di atas, lalu dia ditimpa hal-hal yang bisa memancing munculnya rasa marah, maka dia akan menanggungnya dengan akhlak yang baik dan menghadapinya dengan sikap tenang dan sabarnya, serta pengetahuannya akan akibat-akibat yang baik (bagi orang yang sabar)…
- Kedua : Perintah setelah munculnya rasa marah agar tidak melampiaskan marahnya. Sebab munculnya rasa marah, kebanyakan orang tidak mampu mencegah dan menolaknya, akan tetapi mampu untuk tidak mewujudkannya.Oleh karena itu, jika dia marah, hendaknya dia menahan dirinya dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan haram yang disebabkan oleh rasa marah. “ (Lihat Kitab Bahjah Qulub Al-Abrar hal.207).
Bimbingan Islam Saat Seseorang Ditimpa Rasa Marah
Islam merupakan agama yang sempurna. Karena itulah, islam mengajarkan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat kebaikan dan manfaat bagi manusia dan melarang dari segala sesuatu yang bisa memberikan bahaya dan kejelekan bagi mereka.
Terkait dengan rasa marah yang menimpa seseorang, islam telah memberikan tuntunan bagaimana seharusnya yang dilakukan oleh seseorang saat ditimpa rasa marah :
1.Berlindung Kepada Allah
Disebutkan dalam sebagian hadits tentang dua orang yang saling mencela, di mana salah satu dari keduanya sudah memerah wajahnya dan urat-urat lehernya menonjol karena marah. Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“Sesungguhnya saya mengetahui sebuah kalimat yang seandainya dia ucapkan, niscaya hilang rasa marahnya. Seandainya dia mengucapkan ‘A’uudzu billaahi minasysyaithoonir rajiim’ niscaya hilang rasa marahnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas memberikan bimbingan saat seseorang ditimpa rasa marah, hendaknya dia segera banyak berlindung kepada Allah Azza Wajalla. Sebab, rasa marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan dalam jiwa seorang hamba. Jika hamba tersebut berlindung kepada Rabb-nya, niscaya bara api tersebut akan padam.
2.Diam
Saat seseorang dikendalikan rasa marahnya, dia cenderung mudah mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidaklah menambah kecuali kejelekan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“Jika salah seorang di antara kalian marah, hendaknya dia diam.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Di Shahihkan oleh Al-Albani dalam Shohih Al-Jami’ [693]).
3.Duduk atau Berbaring
Saat seseorang mulai merasakan amarah yang berkobar pada dirinya, jika dia berdiri maka hendaknya dia segera duduk atau berbaring. Hal ini telah dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam :
“Jika salah seorang di antara kalian marah dalam keadaan berdiri, maka hendaknya dia segera duduk, niscaya rasa marah akan hilang darinya. Jika tidak , maka hendaknya dia berbaring.” (Diriwayatkan Oleh Abu Daud, Ahmad, Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud[4782]).
Selain ketiga hal yang telah dituntunkan di atas, masih ada beberapa tuntunan lainnya yang hendaknya dilakukan saat seseorang dikuasai rasa marah namun tidak sempat saya sebutkan, seperti berwudhu dan mengingat keutamaan yang didapatkan oleh orang yang mampu mengendalikan rasa marahnya.
- Surat an-Naziat: Arab, Latin dan Terjemahan - September 26, 2023
- Surat Quraisy: Arab, Latin dan Artinya - September 26, 2023
- Surat al-Fil: Arab, Latin dan Artinya - September 26, 2023